Siapakah Orang Melayu

  • Post category:OPINI

Issued By  :  H. Wan Suhardi, SE

Abdul Malik dalam situs http”/www.mejelismelayu.com, mengutip Encyclopaedia Britannica (Micropaedia, 1985:727) menyebutkan “Malay or Orang Melayu” adalah satu kelompok atau etnis di Semenanjung Malaya dan sebagian pulau-pulau yang berdekatan di Asia Tenggara, termasuk pesisir Timur Sumatra, pesisir Kalimantan, dan pulau-pulau yang lebih kecil diantara kawasan tersebut (Ethnic Group of the Malay Peninsula and part or adjacent island or Southeast Aia, including the East coast of Sumatra, the Coast or Borneo, and smaller islands between areas).

Dengan demikian, kelompok etnis Melayu di Indonesia mendiami kawasan yang terbentang dari Temiang disebelah Selatan Aceh, beberapa bagian Sumatra Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, dan Kalimantan Barat. Beberapa pakar bahkan membuat pemahaman yang lebih luas dari pada itu. Apalagi jika ukurannya adalah bahasa, maka kawasan itu akan mencapai Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, dan Maluku. Daerah-daerah inilah yang menurut peneliti dinyatakan sebagai kawasan kebudayaan pesisir yang ciri khas utamanya adalah kepercayaan dan keyakinan kepada agama Islam, serta berorieantasi kearah aktivitas pasar. (Geertz, 1981:43).

Perbedaan dan kesamaan itu meliputi semua aspek kehidupan. Dari bahasa sampai pada gastronomi (seni dalam memilih), pakaian serta tata cara berprilaku. Persamaan membina sosok yang tunggal, sedangkan kemajemukan dibiarkan terus berkembang.

Lebih luas lagi bagi seorang peneliti Melayu dari Hongkong, Vivien Wee menyebutkan bahwa “Melayu itu Islam dan Islam itu Melayu”, maka pemahaman terhadap siapakah orang Melayu akan menjadi sangat luas. Semua penduduk bumi yang beragama Islam, dari jazirah Arab hingga Madagaskar, adalah Melayu. Namun perlu dicatat, sekelompok orang beragama Nasrani di Philipina Tengah dan Madagaskar, mengaku diri mereka adalah Orang Melayu, yang dinyatakan dalam sebuah Seminar Melayu Serumpun di Pekan Baru beberapa waktu lalu. Inilah sebuah kenyataan yang sangat takjub dan  indah dalam persebatian kemelayuan sebagai peninggalan masa lalu yang masih terwarisi hingga masa kini.

Budayawan Melayu Riau, H. Tenas Effendi dalam bukunya “Melayu Masyarakat Terbuka” mengatakan, “Kalau Melayu dipahami secara ras, di dunia ini banyak jenis ras Melayu, yang tersebar dari Indonesia sampai ke Madagaskar. Kemudian dalam Melayu yang besar ini terdapat cabang-cabang, diantaranya adalah Melayu serumpun seperti Indonesia dan Malaysia, Brunai Darussalam dan Singapura”.

Merujuk dari pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa Melayu itu dapat diaartikan secara luas, dan sebaliknya dapat pula dipahamai secara sempit, tergantung dari cara memandang dan menilai, serta siapa yang memandang dan siapa pula yang menilainya. Bila sudut pandang diarahkan pada ras, maka dapatlah dikatakan hampir separuh dari penduduk dunia ini adalah Melayu. Namun bila cara menilai itu dipalingkan kearah kelompok atau puak, atau bahkan mungkin yang lebih kecil lagi sekelompok orang yang mendiami daerah tertentu, maka Melayu akan menjadi sangat kecil dan sempit.

Tenas Effendi sepertinya memang berhajat untuk mengibarkan bendera kebesaran Melayu itu keseluruh antero dunia. Diberbagai kesempatan ia selalu menyuarakan kebesaran dan keterbukaan orang Melayu. Diberbagai seminar dan diskusi, baik dalam maupun luar ngeri, budayawan gaek ini tak pernah lupa mengusung konsep keterbukaan dan kebesaran Melayu itu sendiri, meskinpun tak jarang mendapat sanggahan dari berbagai pihak.

Lalu bagaimana dengan kita masyarakat Natuna. Siapa dan dari kelompok manakah kita.

Untuk menulis tentang Melayu Natuna barangkali akan sulit terjangkau oleh tulisan ini. Hal itu disebabkan oleh keterbatasan sumber dan reprensi, maka bahasannya akan diperkecil hanya pada masyarakat asli Pulau Bunguran, atau yang lebih dikenal dengan istilah Natuna Besar (Natuna Best).

Wan Din Yusuf (Alm) pernah menulis dalam sebuah bukunya “Masyarakat Bunguran”, mengutip dari beberapa naskah atau manuskrip yang pernah tersimpan dalam manuskrip peninggalan Orang-orang Kaya Bunguran, mengatakan bahwa,: “Masyarakat Bunguran bermula dari sebuah perjalanan Putri Johor yang bernama Tengku Fatimah, dengan tujuh penjajab (perahu kecil) beserta 40 orang pengawalnya, berlayar menuju Utara, menyinggahi beberapa pulau yang ada di rantau itu, dan akhirnya tiba di pulau Bunguran yang kala itu belum ada nama dan penghuninya”.

Perjalanan sang putri bukanlah perjalanan wisata untuk sekedar menikmati keindahan alam pulau, pantai dan laut yang ada lalu kebali ke kampung halaman. Tetapi melainkan perjalanan mencari kehidpuan baru di negeri yang baru, karena kehdiupan di tanah kelahiran tak lagi nyaman untuk dipertahankan. Berbekalkan sebuah Mahkota dan selembar Grand Tanah (Surat Tanah) dari Kerajaan Johor, Tengku Fatimah memilih Pulau Bunguran atau Pulau Srindid ini, sebagai sebagai tanah baru bagi kehdiupan diri dan para pengikutnya.

Kala itu sang putri masih lajang, hingga timbul niat untuk menikahkan sang putri dengan salah satu pengawalnya yang dianggap layak sebagai pendamping hidup Tengku Fatimah, guna mempertahankan zuriat keturunannya. Namun Allah berkata lain. Setiap pengawal yang dinikahkan dengan Tengku Fatimah, meninggal dunia. Tentu musibah ini mengingatkan pengawal lain untuk tidak lagi menikahi sang putri. Dan diakhir perjalan, ketika penjajab-penjajab Johor itu memasuki Sungai Segeram, rombongan dipertemukan dengan seorang pemuda berbadan tegap dan badannya berbulu lebat, tengah mengapung diatas seruas bambu (buluh betung). Pemuda inilah yang kononnya menjadi pendamping hidup Tengku Fatimah dengan gelar Orang Kaya Dina Mahkota, dan meninggalkan keturunannya hingga kini”. Demkian, H. Wan Din Yusuf dalam tulisanya itu.

Pertanyaan besar yang masih belum terjawab sampai saat ini adalah, Mengapa Tengku Fatimah merasa tidak nyaman tinggal di tanah kelahirannya. Mengapa ia harus mencari kehidupan baru di sebuah pulau nan jauh dari keramaian. Bukankah hidup gemerlap dilingkungan kerajaan  yang dipenuhi dengan kemewahan dan kesenangannya akan menjadi pilihan semua anak manusia.

Timothy P Barnad, seorang peneliti asal Amerika yang mengabdikan dirinya di National University of Singapore (NUS) dalam makalahnya dan pernah disampaikan pada sebuah seminar Melayu di Kota Tanjungpinang beberapa waktu lalu, menyebutkan, :

“The violence that Sultan Mahmud directed toward and the people olso resulted in probelems within the ranks or the nobility. Tor the nect few years after his visit, according to Hamilton, Sultan Mahmud continued his insupportable tyranny and brutality. Finally, the Sultan was kiled due to his mistreatment of a daughter of one of the Orang Kaya. It began with an ettempt by his mohter to seduce him away from the companye of males.

Kepongahan Sultan Mahmud terus menerus dilakukan baik kepada kaum pendatang maupun kepada rakyatnya sendiri, hingga menmbulkan permasalahan yang tak henti-hentinya di lingkungan kerajaan. Beberapa tahun berselang setelah kehadirannya, menurut Hamilton, Sultan Mahmud terus melakukan kezaliman dan ketiraniannya. Akhirnya, Sultan Mahmud dibunuh oleh salah seorang Orang Kaya yaitu saudara perempuannya sendiri yang sering dianiaya olehnya”.

Pernyataan tersebut tentu sangat mengejutkan para peserta seminar yang rata-rata adalah orang Melayu Bintan dan Pulau Tujuh. Bagi orang Melayu Bintan, pernyataan tersebut barangkali sedikit menyejukkan, karena selama ini “stigma durhaka” sebagai pembunuh Sultan Mahmud itu, melekat pada anak keturunan Bintan. Sebab berdasarkan kisah yang pernah ditulis oleh Raja Ali Haji dalam bukunya “Sulalat al Salatin” yang kemudian diterjemahkan oleh John Leyden ke dalam bahasa Inggris serta diterbitkan sebagai “Sejarah Melayu”, menyebutkan bahwa pembunuh Sultan Mahmud adalah Laksmana Bentan atau yang lebih dikenal dengan nama Megat Sri Rama. Karena Laksamana Bentan sangat kesal dan kecawa terhadap tingkah dan polah Sultan yang telah membunuh istrinya yang sedang hamil tujuh bulan. Kisahnya terekam dalam kutipan “Hikayat Siak”  berikut ini :

“Hatta, kepada suatu hari, Sultan beradu siang hari. Maka datang orang persembah nangka. Dan kepada itu waktu, bini Megat Seri Rama masuk ke dalam karena ia bunting tujuh bulan. Serta dilihat nangka itu, terlalulah ingin hendak makan nangka itu, tiada dapat ditahannya. Maka bini Megat Seri Rama pun datanglah, mendapat akan penghulu istana, mintak nangka barang satu ulas. Maka frikir penghulu istana, “dari sebab ia buntinglah, maka sangat berkehendak ini”. Maka lalu diambil akannya satu ulas. Maka dimakannyalah.

Setlah sudah, maka baginda pun bangun dari beradu. Maka baginda lalu melihat kepada nangka, lalu baginda suruh ambil. Maka penghulu istanapun datang membawa nangka. Lalu dipersembahkannya, mengambil satu ulas, memberi bini Megat Seri Rama, karena ia mengidam hendak makan nangka.

Tatkala itu baginda di dalam tiada ingat, kepada waktu bulan baharu timbul. Setelah baginada mendengar sembah Penghulu Istana, maka baginda mendengar sembah Penghulu Istana, maka bagindapun tertawa. Tuah baginda, “Suruhlah panggil bini Megat Seri Rama, aku hendak melihat anaknya, iakah makan nangka itu”. Maka dipanggillah bini Megat Seri Rama itu. Maka iapun datang. Maka lalu dibelah perutnya. Dan itu anak didalam perut mengisap nangka itu. Maka bini Megat Seri Ramapun mati. Maka terdengarlah khabar kepada Megat Seri Rama biinya mati, dibunuh yang Dipertuan, tiada dengan satu salah. 

Sementara dibagian lain, bagi peserta asal Pulau Tujuh atau sekarang yang lebih dikenal dengan Natuna, tentu pernyataan tersebut perlu didiskusikan secara arif. Betapa tidak, karena gelar Orang Kaya sangat identik dengan para penguasa yang ada di kawasan ini. Pertanyaan yang muncul kala itu adalah “

  1. Who was the Orang Kaya do you mean?
  2. Where did the Orang Kaya come from? As we understand untul now on that the Orang-orang Kaya were identic to our encestor.

Timothy berdalih singkat. “ Oh, she is still secret and unidentify. We need several times, and probably long time to research it.

Sementara dibagian lain, dari kisah yang pernah disampaikan kepada anak cucu secara turun temurun menyebutkan bahwa , hijrahnya Tengku Fatimah dari Johor ke rantau Bunguran adalah disebabkan oleh keberadaan dirinya sendiri yang ditakdirkan Allah lahir dalam kondisi yang kurang sempurna. Hingga ia menganggap dirinya Dina (hina) dan tak layak tinggal dilingkungan kerajaan. Oleh karena itu Tengku Fatimah dibekali dengan sebuah Grund Tanah dan sebuah Mahkota. Hingga dirinya mendapat julukan Dina Mahkota.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mencari atau mengungkap tentang siapakah pembunuh Sultan Mahmud, atau siapa yang durhaka terhadap kerajaan Johor. Apakah Laksmana Megat Sri Rama atau atau bahkan saudara kandungnya sendiri yaitu Tengku Fatimah. Tetapi sesungguhnya tulisan ini sekadar mencari tahu, siapakah asal usul orang Bunguran.

Jadi bila mengacau pada tulisan Wan Din Yusuf (Alm), maka dapatlah dibuat sebuah kesimpulan bahwa orang Melayu Bunguran adalah Orang Melayu Johor, yang hijrah kawasan Utara Indonesia ini, beberapa abad silam.