Issued by : H. Wan Suhardi, SE / Wahyu Saputro
Secara historikal hubungan serantau masa lalu menjadi acuan yang bersimpai padat dengan masyarakat Melayu Natuna yang mendiami Tokong Pulau Tujuh di kawasan Laut Cina Selatan ini. Kajian ini bertitik tolak pada kejayaan Dinasti Johor – Riau Lingga yang pernah muncul pada abad ke 16 hingga abad ke 20.
Kerajaan Johor-Riau Lingga adalah warisan dari tradisi Malaka, Singapura, Bintan dan Palembang (Prof. Madya Zainal Abidin Borhan;2002) dimana wilayah kekuasaannya meliputi Kepulauan Natuna, yang dulu lebih dikenal dengan sebutan Pulau Tujuh.
Wan Tarhusin dalam bukunya berjudul Gelar Datuk Kaya Tokong Pulau Tujuh, menyatakan ”Pemilihan Datuk Kaya di Pulau Tujuh sangat selektif. Hanya keturunan Datuk yang mampu dan dianggap cakap, dipilih untuk memimpin wilayahnya dengan disetujui oleh penguasa Belanda, setelah mendapat restu dari Sultan Riau kala itu”.
Dari pernyataan diatas mungkin telah dapat memuaskan nafsu pemburu cerita masa lalu untuk dijadikan sebagai acuan cerita baru bagi generasi masa kini dan masa yang akan datang, lalu kemudian menyimpulkan bahwa sewajarnyalah masyarakat Natuna harus tunduk dan takluk kepada Kepulauan Riau sebagai ibunda negeri kerjaaan Johor-Riau Lingga yang termasyhur itu. Namun akankah fakta sejarah itu disepakati untuk dimulai hanya dari abad ke 16 hingga ke 20 saja? Dan apatah lagi bila sejarah itu hanya dimulai dari tanggal 18 Mei 1956, dimana Kepulauan Riau diberi status Daerah Tingkat II dan membawahi empat Daerah Kewedanaan termasuk Pulau Tujuh.
Bila hal tersebut diatas disepakati, maka apakah masyarakat Melayu tidak pernah merasa direndahkan martabatnya, karena peradaban Melayu hanya berlangsung kurang lebih 4 abad saja? Dan apakah masyarakat Pulau Tujuh tidak pernah merasa kehilangan sebuah rangkaian waktu yang menyimpai dan mengikat peradabannya dalam waktu yang teramat panjang? Karena dalam beberapa tulisan yang beredar di Natuna, bahwa kajian sejarah itu hanya dimulai dari tahun 1956. Lalu dimanakah sisa waktu itu tertinggal? Apakah tidak tercatat dalam sejarah kemelayuan? Sesungguhnya tidak ada yang tertinggal dan terlupakan, bila egosentris dan kepentingan pribadi atau golongan tidak merasuki jiwa anak negeri Melayu yang mendiami Tokong Pulau Tujuh ini.
Kita mulai dari abad ke 12 Masehi misalnya. Kedatangan orang-orang dari bagian Utara Asia, yaitu Kerajaan Campa yang kemudian menyusuri perjalanan ke arah Selatan, melewati Kamboja terus ke Siam, Patani dan kemudian terus ke Semenanjung Malaya dan berakhir di Pulau Srindid (Pulau Bunguran Sekarang ini). Fakta ini terungkap dari Silsilah Datuk Kaya atau Orang Kaya yang berkuasa di Pulau Srindid. Karena dari sekian banyak orang ternama yang tercatat dalam Silsilah tersebut, terdapat nama-nama seperti “Orang Kaya Koementak, Orang Kaya Aling dan Orang Kaya Liak, yang sudah bermukin di pulau Srindid sejak tahun 1200 M dan membuat pemerintahan sendiri disekitar Sungai Segeram, Kelarik, Bunguran Utara saat ini. Nama-nama diatas identik dengan nama-masayarakat yang mendiami bagian Utara Asia.
Setelah tiga nama besar diatas, menyusul nama Orang Kaya Wan Rawa yang bergelar Datuk Kaya. Wan Rawa adalah Datuk Kaya ke 11 yang sudah beragama Islam dan menikah dengan seorang wanita asal Kamboja (Tukim). Wan Rawa meninggal di Lubuk Gung (Sungai Ulu, Ranai Bunguran TImur).
Sementara dalam kurun waktu yang sama, di Serasan tercatat nama Datuk kaya Tanggo, Datuk Kaya Basir bin Haji Radjab, Datauk Kaya Yahya dan Datuk Kaya Wan Mohd. Tahir. Menyusul Pulau Laut, bertahta Datuk Kaya Bidin, Datuk Kaya Mahmoed dan Datuk Kaya Yahya. Selanjutnya di Jemaja tercatat nama Datuk Kaya Wan Kamat, kemudian Datuk Kaya Abdoel Rachman serta menyusul Datuk Kaya Mohd. Tara.
Fakta lain diperkuat oleh hasil temuan para Arkeolog nasional. Sebut saja Naniek Harkantiningsih dan Sonny C. Wibisono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menulis dalam bukunya berjudul “Arkeologi Natuna : Singkapan Identitas Budaya di Gugus Kepulauan Terdepan Indonesia”, menyebutkan : “Analisis keramik Natuna menunjukkan beragam asal, sebagian besar dari Cina, mulai dari keramik zaman Lima Dinasti (abad ke 9) sampai dengan Dinasti Qing (abad ke 20). Di dalam priode waktu yang panjang itu, tersellip keramik buatan Vietnam dan Thailand antara abad ke 14 sampai abad ke 16. Di ujung masa itu abad ke 19 – ke 20, selain keramik Cina, masuk keramik buatan Jepang dan Eropa (hasil penelitian Tim dari tahun 2012 2015).
Kehadiran keramik pada masa itu, tentu amat bermakna untuk menemukan peran Kepulauan Natuna di masa lalu. Rialitas temuan dan sejarah ini menunjukkan bahwa kawasan Natuna adalah sebuah kawasan berdaulat dibawah Dinasti Orang Kaya atau Datuk Kaya yang menapakkan kekuasaannya 4 abad lebih awal dari kekuasaan Kerajaan Johor-Riau Lingga.
(To be Continued)