Rangkaian Adat Perkawinan

Issued By : H. Wan Suhardi, SE /Wahyu Saputro

Padat tembaga jangan dituang,
Bila dituang melepuhlah diri.
Adat dan lembaga janganlah dibuang,
Bila dibuang binasalah diri.

Itulah ungkapan pantun lama yang mengingatkan kepada kita semua sebagai anak watan Melayu negeri bertuah, bahwasanya jangan sekali-kali kita meninggalkan adat yang telah dilembagakan dalam kehidupan puak Melayu. Namun terkadang, nasehat pusaka orang-orang tua itu, tidak menyurutkan niat banyak pihak untuk mengubah suai adat dan lembaga yang ada, menjadi cara dan gaya Mat Saleh (bangsa Eropah), yang kononnya jauh lebih indah untuk dikembang suburkan di negeri ini. Dengan berselimutkan dibawah payung moderen dan trendi, para pemuda Melayu dengan sengaja mencampakkan nilai-nilai keindahan adat dan lembaga itu, ke lembah ketertinggalan. Sesungguhnya, ianya itu tertinggal atau sengaja di tinggalkan? Padahal, dalam pantun nasehat yang lain pernah diingatkan, :

Apa tanda kayu sialang,
Disitu tempat bersarangnya lebah.
Apa tanda melayu terbilang,
Memegang adat dan menjunjung marwah.

Dari ungkapan pantun ini sudah tersirat kekhawatiran orang-orang tua Melayu, bahwa satu masa nanti, kehalusan budi, keindahan dalam berbicara dan berbahasa, serta kemuliaan dalam bertindak, akan terkikis secara berangsur-angsur oleh nilai-nilai budaya barat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan kata hati anak Melayu itu sendri.

Salah satu kemulian dan keindahan dalam bertindak dan berlembaga adalah Tata Cara Perkawinan Melayu. Ianya tegap berdiri di seluruh kawasan Melayu, mulai dari Semananjung Malaya sampai ke pesisir Sumatra, termasuk di negeri Segantang Lada, Kepulauan Riau. Namun kondisi itu nyaris jatuh terhoyong di kawasan Tokong Tujuh Pulau ini.

Tata cara upcara perkawinan dibuat sesuka hati yang punya hajat. Tepuk dada tanya selera. Selagi ada kemampuan dan kesanggupan materi atau uang, maka selagi itu pula acara diramu sedemikian rupa yang serba megah dan wah, meskipun terkadang majelis besar yang dibuat tersebut, tidak bersendikan adat dan lembaga Melayu. “Sungguh Bertuah”.

Untuk itulah, dengan segala kenistaan dan kekurangan, penulis mencoba untuk mengangkat kembali adat perkawinan Melayu masa lalu. Ianya dianggap sebagai Batang Buruk yang nyaris tenggelam seperti yang pernah ditulis sebelumnya. Mungkin oleh banyak orang, batang itu dianggap sudah tidak berguna. Jangankan akan dibuat perahu, untuk burung bertenggerpun, mungkin sudah tidak pantas.

Ada beberapa tahapan pekerjaan yang harus dilalui dalam rangkaian adat perkawinan Melayu. Dan setiap pekerjaan dan tahapan itu, dapat dipadu padankan antara satu dengan yang lainnya, dan bahkan boleh tidak diselenggarakan sama sekali, kecuali upacara Akad Nikah. Hal terserbut dilakukan apabila tahapan-tahapan pekerjaan itu dirasakan akan memberatkan yang punya hajat.

Orang-orang tua pernah berpesan :

Bila hendak beras ditanak,
Jangan sampai tidak diaduk.
Bile hendak menikahkan anak,
Jangan sampai berhutang beranduk.

Lalu apa saja tahapan pekerjaan itu. Bila anda sudah bosan membaca, cobalah dicampakkan kebosanan itu barang sejenak, serta baca tulisan ini barang satu atau dua paragraf lagi. Inys’allah pandangan akan menjadi terang, mata yang berat akan menjadi ringan. Hutang adatpun akan dapat dibayar tunai.

Pisang emas dibawa belayar,
Masak sebijik diatas peti.
Hutang emas boleh dibayar,
Hutang budi dibawa mati.

Batang jati dibuat peti,
Pucuk perepat tumbuh di perigi.
Hutang budi dibawa mati,
Hutang adat anak cucu menjadi rugi.

Baik, kita mulai sekarang.

Menilik atau Menengok

Bahasa adat menegaskan, “Adat Bersendikan Syarak, Syarak Bersendikan Kitabullah.” Maknanyanya adalah, setiap gerak dan lakon anak Melayu berserta puaknya dan keturunanya mesetilah tidak boleh bertentangan dengan Syariat Islam. Begitu juga halnya dengan tata cara menikahkan anak. Menurut Syariat Islam, ketika anatara laki-laki dan perempuan sudah akan dipertemukan jodohnya, maka haruslah mengacu pada beberapa hal berikut :

  1. Ada persetujuan dari kedua belah pihak
  2. Dewasa dan memiliki rasa tanggung jawab
  3. Kesamaan Agama
  4. Tidak dalam hubungan nasab
  5. Tidak ada hubungan Rodho’ah (sesusuan)

Menilik atau menengok adalah rangkaian adat perkawinan yang diajarkan oleh orang Melayu kepada kaum keturunannya. Hal ini merupakan tahapan awal bagi segala kegiatan bila akan menikahkan anak. Kegiatan ini dilakukan langsung oleh orang tua kandung dari pihak laki-laki. Atau apabila orang tua kandungnya tidak punya keberanian, maka dapat juga diwakilkan kepada pasangan suami istri dari keluarga terdekat. Tentu keluarga yang benar-benar dipercaya. Jangan sampai “mengharapkan pagar, pagar pula makan tanaman”.

Pembicaraan dalam menilik atau menengok adalah pembicaraan silaturahmi biasa, namun bahasa kias sudah disampaikan dalam perbincangan itu. Orang tua sang Gadis, pasti sudah memahami akan maksud kedatangan tamu ini. Lalu biasanya, orang tua si gadis, akan menyuruh anak gadisnya untuk menghidangkan minuman dan kue-kue ringan untuk tamunya itu. Ketika itulah utusan dari pahak laki-laki menilik dan menengoknya gadis yang akan dipinangnya.

Lalu apa saja yang ditengok dan ditiliki.  Tentu diantaranya paras atau rupa, cara berpakaian, serta cara si gadis dalam menghidangkan minuman tadi. Tidak lupa pula akan disimak cara dia berbahasa ketika disapa. Semua hal yang dilihatnya akan isampaikan kepada orang tua pehak laki-laki. Barulah keluarga laki-laki merundingkannya secara bersama-sama, termasuk kepada si anak laki-laki yang akan dinikahkannya itu.

Cara ini tentu terlalu kuno dan sangat bertele-tele bagi anak-anak muda sekarang. “Dunie dah canggih pak cik. Face book, Instagram, atau What-up dan macam-macam Medsos lainnya, dah menjadi bagian dari kehidupan kita. Tak payah nak nyuruh orang lain menengok, kami sediri dapat menengoknya setiap saat”.

Ya,….pendapat kalian mungkin benar wahai anak muda. Namun ketahuilah, penilaian dari mata sendiri, selalu dikacaukan oleh musuh manusia yang bergelar Syaitan. Dan bisikan serta bujukan syaitan itu pasti tidak baik dan tidak benar. Jadi untuk menghindari semuanya itu, maka orang-orang  tua Melayu menapisnya dengan acara Menilik dan Menengok. Perundingan ini akan diteruskan atau tidak, tergantung dari hasil penilaian mereka bersama. Kalau memang cocok, maka keluarga segera mengirimkan untuk Merisik. (To be continued)