Napak Tilas Smansa Ranai (Part – I)

Issued by : H. Wan Suhardi, SE/Wahyu Saputro

Berawal dari sebuah tuntutan kecil para pelajar SMP Negeri I Ranai,  kepada Jendral TNI M. Yusuf, (Almarhum, red) Menteri Pertahan dan Kemananan Panglima Angkatan Bersenjata RI kala itu, ketika akan meresmikan Stasiun Relay TVRI di akhir tahun 1980. Putra-putri Ranai Bunguran Timur yang haus sekolah, meminta agar di Ranai ini segera didirikan sebuah Sekolah Lanjutan Atas, seperti SMA atau entah apalah namanya. Mereka membawa pamplet-pamplet yang bertuliskan “Kami mohon di dirikan SMA”.

 

Dengan suara santai sang jendral yang pemurah itu, menaanggapi aksi para pelajar, dengan mengatakan, “urusan sekolah sebenarnya bukan urusan saya, saya mengurus kemanan negara, saya ngurus tentara, tapi insya’allah, akan saya usahakan” . Terlalu singkat pernyataan itu, tetapi menjadi kenyataan. SMA yang didambakan oleh anak-anak kampung yang terbuang itu, direalisasikan dalam waktu yang sangat singkat pula, sesingkat ucapan sang jendral. Dalam waktu yang tidak lebih dari tiga bulan, SMA yang didambakan pun berdiri, meskipun hanya berbekal dengan sebuah Surat Keputusan. “Terima kasih Jendral, terima kasih pak Yusukuf, budi baik mu akan tetap selalu kami kenang, dan semoga arwahmu, diberikan tempat yang layak di sisi Nya, Amien”.

Awal bulan April 1981, seorang pegawai negeri sipil TNI AU Ranai, (Almarhum Fahrulazi , red), ditunjuk oleh atasannya untuk mulai mengumumkan berdirinya SMA Ranai. Statusnya belum jelas. Ada yang mengatakan langsung akan dinegerikan, dan ada pula yang mengatakan akan dijadikan SMA Nusantara, yaitu sebuah sekolah lanjutan atas yang dikelola oleh militer. Meskipun demikian, Pak Fahrulazi yang memiliki naluri pendidikan yang cukup baik itu, tidak perduli dengan status sekolah yang akan didirikan. Dia dengan tekun melaksanakan tugasnya melakukan proses penerimaan siswa baru, sementara bangunan sekolah yang belum tersedia, tidak menjadi hambatan bagi dia, untuk terus melaksanakan tugasnya. Dan akhirnya terdaftarlah sebanyak 70 orang siswa baru SMA Ranai, yang terdiri dari para pelajar yang baru menyelesaikan SMP tahun itu, maupun yang sudah dua atau tiga tahun sebelumnya telah menyudahi pendidikannya di SMP namun tidak berkemampuan untuk melanjutkan ke SMA atau sekolah sederajat yang ada di kota lain.

Sebuah angka yang bagus, “70”. Allah menciptakan makluk-makluk besar  selalu dimulai dengan angka 7. Langit misalnya terdiri dari 7 lapis. Begitu juga dengan bumi, juga 7 lapis. Sementara hari juga Allah ciptakan 7 dalam satu minggu. Demikian pula halnya dengan waktu bagi orang-orang tertentu ketika akan menyelesaikan ilmu kebathinan, biasanya 7 hari 7 malam, pasti tuntas setelah pertapaan sebelumnya dilakkan 40 hari dan 40 malam.

Siswa baru itu dititipkan di SMP Negeri I Ranai sebagai tempat belajarnya, sementara para guru, dipinjamkan dari berbagai instasi. Ada guru SMP, atau PNS, ada guru SD, dan bahkan ada TNI yang dijadikan guru SMA itu. Pak Fahrullazi langsung dinobatkan sebagai Kepala sekolah. Amburadul dan menggelikan, tetapi itulah kenyataan nasib anak diujung negeri ini. Minyak dan Gas alamnya di keruk sejak awal tahun 70 an, namun hanya mendirikan SMA pun harus diperjuangkan.

Dengan segala keterbatasan fasilitas, para siswa baru itu mengikuti proses belajar dan mengajar, namun tidak sebagai mana mestinya. Waktu belajar lebih banyak dihabiskan dibawah pohon bogenvil yang tumbuh rindang di sekolah itu. Para guru dengan segala kesibukan tugas pokoknya, selalu tidak datang mengajar. Aktivitas belajar lebih banyak liburnya dibandingkan dengan belajarnya. Tentu kondisi itu tidak dapat diterima dan dirasakan tidak nyaman oleh para siswa yang benar-benar ingin bersekolah kala itu.  Artinya perjuangan masih harus diteruskan.

Beberapa kelompok pelajar  akhirnya berembuk membuat aksi tututan kedua. Kali ini mereka lebih suka menyebutnya dengan “Aksi Demo”. Skenario domopun mulai diatur, meskipun banyak yang menyadari bahwa  waktu itu sangat terlarang untuk mengkritik pemerintah. Apalagi akan diselenggarakannya Pemilihan Umum. Sebab dalam Undang-undang Suversi dengan tegas menyebutkan  bahwa barang siapa yang dengan sengaja mengganggu ketertiban dan kemanan Pemilu, maka dianggap makar. “Makar kau makarlah, yang pendeng kite sekulah tol”. Demikian istilah bahasa Bngurannya. Artinya, mau dibilang Makar, ya Makarlah, yang penting kita bisa sekolah dengan baik. Artinya segala resiko siap ditanggung oleh para pelajar yang benar-benar ingin bersekolah itu. (To be Continued)