Issued by : H. Wan Suhardi, SE/Wahyu Saputro
Gendrang Aksi Demo pun segera ditabuhkan. Semua kelengkapan sudah dipersiapkan sesuai skenario. Memang belum ada Round Down secara rinci, tetapi setidaknya semua seudah terta rapi. Semua fasilitas guna mempercepat hasil tuntutan sudah diperhitungkan dengan sebaik-baiknya. Selain berkeliling
kota Ranai, dengan membawa beberapa buah pamplet berisi tuntutan “minta guru permanen dan minta bangunan sekola permanen”, kelompok pelajar pendemo itupun menempelkan pamplet tuntutan yang sama pada objek-objek vital yang ada ada malam harinya, seperti misalnya, pada papan plang kantor Komando TNI AU atau Lanud Ranai, Komando Rayon Militer atau Koramil Ranai, Pos AL serta tak luput pula papan plang nama Polisi Sektor atau Polsek Ranai menjadi targe penyampaian aspirasi. Dan yang telah tidak masuk akal, kelompok pelajar itu melayangkan tujuh pucuk surat yang isinya sama, namun alamat tujuannya berbeda. Antara lain :
- Kepada Presiden Republik Indonesia di Jakarta
- Kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta
- Kepada Menhankam Pangab di Jakarta
- Kepada Gubernur Provensi Riau di Pekanbaru
- Bupati Kepulauan Riau di Tanjungpinang
- Kepada Kepala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau di Pekanbaru
- Kepada Kepala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kepulauan Riau di Tanjungpinang
Padahal para pelajar itu tahu bernar, bahwa proses pengiriman surat ketika itu sangat sulit. Meskipun kantor pos sudah ada, namun priodesasi pengirimannya harus menunggu jadwal printis satu kali satu bulan. Kapan sampainya surat itu. Terserahlah, entah sampai ke alamat atau terhenti oleh ganasnya ombak laut cina selatan. Namun upaya menempelkan pamplet tuntan pada papan plang nama komando TNI dan Polri, diyakini menjadi strategi yang paling ampuh untuk didengar dan dibaca oleh para pemegang kebijakan. Terlebih lagi kala itu sudah tersedia jaringan komunikasi berbasis video call yang dimiliki oleh TNI AU.
Tak pelak lagi, belum sempat barisan pendemo bergerak berkeliling kota Ranai, pihak Polsek Ranai pun bergegas mengerahkan anggotanya untuk menangkap otak demonstran. Tentu yang menjadi sasaran tembak adalah ketua OSIS. Ketika akan mandi pagi, sang ketua OSIS (Suhadi Ch, red) digiring ke kantor Polisi Sektor Ranai. Dia dintrograsi. Dia diancam hukuman 20 tahun penjara. “Dalam waktu dekat, jumlah tersangka akan bertambah”, demikian kata Kapolsek Peltu Marjoni dengan tegas. “Hem belum tahu dia, otak anak pulau ini cerdik juga”.
Mendengar berita itu, tentu pelajar yang lain tidak tinggal diam. Mereka beramai-ramai mendatangi polsek Ranai. Termasuk putri sang Kapolsek pun ikut mendatangi kantor ayahnya itu. Betapa tidak, Elli (putri kedua Peltu Marjoni, istri mantan Penjabat Bupati Anambas Yusrizal yang tenggelam di perairan Anambas ketika sedang melaksanakan kunjungan kerja ke daerah itu, red) adalah siswa pertama yang menandatangani surat pernyataan demo dan menyatakan siap menanggung segala resiko. Wau,.. ibarat buah semala kama Peltu Marjoni. Mau ditegakkan hukum, anak masuk penjara, kalau tidak, kewajiban. Kata orang Buton, “Mau ditangkak, kawan.Tidak ditangkak, kawajibang”.
Akhirnya dengan segala pertimbangan, Peltu Marjoni memilih untuk berdamai. Sang Ketua OSIS yang sudah diintrogasi selama kurang lebih 5 jam itu dilepas, meskipun disertai dengan beberapa perjanjian. Jadi bebas bersyarat ceritanya. Namun anehnya persyaratan yang disyaratkan itu tidak di diutarakan ketika akan melepas sang Ketua OSIS. Hanya dibilang, “ini ada syaratnya, dan nanti akan disampaikan kemudian.” Maklumlah, pak polisi kan pntar menggertak. Lebih dari itu, Peltu Marjoni pun belum pernah tahu, bahwa ada tujuh pucuk surat yang sudah melayang dan tiba pada alamat yang dikehendaki.
Akhirnya pemerintah kecamatan yang difasilitasi oleh camat Rusdi Sayuti, Kapolsek Peltu Marjoni, dan Komandan Ramil Sersan Akmal, membuat sebuah pertemuan akbar dengan pelajar SMA. Perjanjian damaipun dibuat. Pertemuan itu juga dihadiri oleh Daeng Rusnadi, yang ketika itu kebetulan pulang kampung mengisi liburan panjang. Sebagai calon intlektual Ranai, dia dihadirkan pada pertemuan itu.
Perjanjiannya adalah :
- Unsur Pimpinan Kecamatan siap membantu memfasilitasi usulan pelajar SMA yang menuntut minta guru dan sekolah permanen.
- Pelajar SMA tidak dibernarkan membuat kerusuhan yang kedua kalinya dan apabila melanggar diancam hukuman pejara 20 tahun.
- Pelajar SMA harus siap membantu menyukseskan Pemilu dengan ikut berkampanye bersama parta Pemerintah, yaitu Golongan Karya.
“Kalau hanya itu gampang, yang penting sekolah kami harus berdiri, dan guru yang kami harapkan harus ada. Kalau tidak, lebih baik masuk penjara, dari pada sekolah tapi jadi pereman. Kalau mantan napi jadi pereman itu kren, tapi kalau orang tepelajar lontang lantung, itu musibah namanya”.
Alhamdulillah, berselang kurang lebih 2 bulan setelah aksi itu atau sekitar awal Januari 1982, bangunan sekolah yang didambakan itu pun mulai didirikan di kawasan Padang Kurak, tempat jin buang anak. “Lantaklah yang penting kita sekolah di sekolah kita”. Proses pembangunannya sangat cepat. Tak lebih dari tiga bulan, bangunan itu sudah bisa ditempati. Tidak tahulah proses anggarannya bagaimana dan sumber anggaranya dari mana, yang jelas bangunan sekolah yang terdiri dari dua ruang kelas, dan satu gedung kontor serta ruang majelis guru itu, didirikan tidak pada tahun anggarannya, dan melalui proses yang sangat cepat. Kalau di era reformasi ini, pastilah pihak yang bertanggung jawab atas berdirinya sekolah itu sudah menjadi tersangka, karena menggunakan anggaran tidak sesuai dengan peruntukannya. Tidak ada mata anggarannya dan tidak ada nomor rekeningnya. Tapi hasilnya, sekolah itu berdiri hingga sekarang.
Seorang guru permanen yang sekaligus menjabat sebagai kepala sekolah pun dikirim dari Tanjungpinang. Drs. Syafi’i Yusuf (Almarhum, red) adalah kepala sekolah dan guru negeri pertama yang mengabdi di SMA Ranai, yang statusnya langsung ditingkatnya menjadi SMA Negeri Ranai. Setahun kemuadian, Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Riau, kembali mengirim satu orang guru negeri (Tantowi Gani, red) sebagai guru negeri tambahan. Proses belajar dan mengajar mulai berjalan lancar. Meskipun semuanya harus dikerjakan secara gotong royong, misalnya halaman sekolah harus dibersihkan secara gotong royong, jalan penghubung dari kota Ranai, yang sekarang dikenal dengan sebutan jalan Pramuka itu, dikerjakan secara gotong royong, sampai-sampai mendatangkan buku paket sekolahpun harus di beli secara gotong royong. “Gratis,?…. mimpi”.
Itulah perjuangan kami untuk sekolah itu. Lalu bagaimana dengan perjuangan mu. Apakah kalian merasa perjuangan itu sudah selesai. Saya kira belum, karena masih terlalu banyak hal yang masih harus diperjuangkan, misalnya menjadikan sekolah itu sebagai sekolah yang berperestasi secara nasional dan bahkan internasional atau entah apalah namnya, yang jelas kami yang merasa pernah berjuang untuk sekolah itu, masih berharap banyak kepada kalian generasi saat ini, untuk terus berusaha agar sekolah itu menjadi yang terbaik di negeri di ujung negeri ini. Thank you. (Finish)