Batang Buruk Nyaris Tenggelam

ISSUED BY: H. WAN SUHARDI, SE

Bahwa menghadapi masa depan yang penuh tantangan dan hadangan diperlukan budaya yang tangguh untuk melandasi sikap dan perilaku masyarakat pendukung agar menjadi manusia yang tangguh pula, (Tenas Efendi, Http:/melayunatuna.blogspot.com, tgl. 5 Juli 2010). Oleh karena itu, budaya melayu yang memiliki nilai-nilai luhur yang Islami dan telah teruji kehandalannya, harus terpatri erat dalam seluruh sendi kehidupan anak negeri, dengan menjadikannya sebagai “jatidiri”. Nilai-nilai inilah yang diyakini mampu mengangkat marwah, harkat dan martabat kemelayuan dalam menantang cabaran perkembangan teknologi moderen yang semakin tak terbendung yang diyakini akan membawa pengaruh Barat keseluruh pelosok tamadun melayu.

Di dalam resam melayu, nilai-nilai kemelayuan itu, bersemayam didalam ungkapan-ungkapan adat, dan disebut sebagai “Sifat yang Duapuluh Lima” atau Pakaian yang Dua Puluh Lima”. Bila sifat dan pakaian yang dua puluh lima itu dijadikan sebagai jatidiri anak Melayu saat ini, maka tentu mereka boleh dikatakan sebagai generasi yang sempurna lahir dan batin. Generasi dambaan yang dirindukan oleh para leluhur. Namun mudahkah inpian itu akan terwujut? Sebelum dijawab, tentu ada baiknya kita pahami terlebih dahulu makna ungkapan diatas.

Dalam ungkapan pantun Melayu ada disebutkan :
Orang salam di dalam perahu,
makan ubi dengan kurma
Orang islam haruslah tahu
Bilangan nabi ada dua puluh lima

Yang dimaksudkan dengan bilangan nabi dalam ungkapan pantun diatas adalah jumlah utusan Allah atau Rasul Allah yang patut dikenal dan diketahui oleh seluruh orang Melayu yang bersendikan Islam. Selain mengetahui dan menghafal nama-namanya, orang Melayu juga harus mengetahui sifat nabi-nabi tersebut. Mudahnya adalah, semua yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umatnya yang tertuang dalam Hadist dan Sunnahnya, wajib diketahui dan dan dipahami serta diamalkan oleh orang Melayu.

Bila merujuk pada pendapat diatas dan kemudian disandingkan dengan perkembangan Teknologi informasi dewasa ini, maka jawab pertanyaan diatas akan menjadi samar. Betapa tidak, rambahan infomasi melaui dunia maya, sudah merasuk keseluruh relung kehidupan Orang Melyu. Sementara dibagian lain, tidak semua dari anak Melayu yang menggunakan jasa informasi itu, mampu memilih dan memilah, mana informasi yang layak dan tidak layak untuk dikonsumsi. Bahkan cendrung, informasi yang berbau negatif menjadi pilihan utama, ketika jemari budak melayu mulai menari diatas layar sentuh telepon pintar mereka. Pastilah kebiasaan itu akan perlahan-lahan menggeser nilai-nilai kemelayuan yang pernah ada. Proses pergeseran memang tidak terlalu cepat, namun pasti. Apatah lagi pemahaman istilah “Moderen” yang tidak telerlalu dapat dipertanggung jawabkan asal usul dan kebenaranya, dimana Moderen dipahami dan dimaknai sebagai segala sesuatu yang berbau Barat (Continental) menjadi acuan bagi setia orang yang kononnya ingin maju.

Lalu apakah Orang Melayu tidak boleh menggunakan telepon pintar atau yang sejenisnya guna berselancar ke dunuia luar.Terlalu naif bila dikatakan tidak. Karena era yang semua orang harus mampu dan pandai menggunakan Teknologi Informasi ini, harus harus menjadi milik kita. Orang pintar mengatakan “Dunia dalam genggaman” . Artinya dengan hanya melalui telepon pintar yang digenggam di telapak tangan. Orang akan dapat mengetahui semua isi dunia, tenpa terkecuali . Kesimpulannya, bila orang melayu ingin mengusai dunia, maka kuasailah Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) itu. Namun perlu dicatat, “harus mampu memilih dan memilah, mana yang patut dan tidak patut untuk dibaca”.

Keasyikan orang-orang memainkan key-board komputer atau layar sentuh telepon pintar menghadirkan kecendrungan sifat individualistis yang sangat tinggi. Orang merasa tidak memerlukan bantuan orang lain. Waktu demi waktu akan dihabiskan untuk menghadapi layar komputer atau telepon pintar, tanpa harus menghiraukan hiruk pikuk kiri dan kanannya. Mereka tenggelam dalam kasyikan dunia yang ada didepan mata. Lalu dimanakan nilai-nilai luhur yang pernah diajarkan oleh orang-orang tua, mereka titipkan? “Santai bro, itukan milik orang-orang tua kita. Biarkan mereka bergelut dalam hak mereka itu” itu barangkali jawaban mereka.

Sesungguhnya untuk menjaga nilai kegotongroyongan, nilai tenggang rasa, dan serta nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka yang perlu dilakukan adalah mejaga nilai-nialai azas Persebatian Melayu (perekat kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara) yang ada dalam kehidupan orang melayu. Hal ini selaras dengan ungkapan adat Melayu yang mengatakan, “Hidup sebanjar ajar mengajar, hidup sedusun tuntun menuntun, hidup sekampung tolong-menolong, hidup senegeri beri-memberi, dan hidup sebangsa rasa merasa”.

Hal ini sudah dibuktikan oleh para pendahulu Melayu. Betapa tidak, untuk mendirikan sebuah rumah misalnya, sang pemilik rumah tidak perlu harus berfikir keras untuk mencari biaya untuk upah tukang. Cukup memberi tahu orang sekampung bahwa ianya akan mendirikan rumah baru, dan bahan atau matrial sudah tersedia. Maka jadilah rumah itu dalam waktu satu minggu paling lama. Karena rumah dimaksud dikerjakan secara bergotongroyong oleh warga sekampung. Begitu juga bila meraka akan membuka ladang atau kebun. Tidak pernah ada upah tebas atau, atau upah tebang, atau upah-upah lain, apapun namnya, karena semuanya itu akan dikerjakan secara bersama-sama. Semua hal akan dikerjakan secara bersama-sama. Apalagi bila ada warga yang akan menyelenggarakan pesta pernikahan anaknya. Tidak pernah ada sewa gedung, sewa piring atau biaya katering, karena semuanya itu akan dikerjakan secara bersama-sama. Semua bisa dipinjamkan. Bahkkan matrial bangsalnyapun dipinjam dari tetangga kiri dan kanan. Apalagi upah pencuci piring. Belum pernah terdengar ada anggaran yang disiapkan untuk sang pencuci piring. Dan bila ada, maka itu pasti mark-up anggaran namanya.

Lalu bagaimana dengan nilai-nilai itu hari ini. Apakah ia masih ada? Tentu jawabnya masih, namun tidak semudah kita membicarakannya bila untuk menemukannya. Nilai-nilai kegotongroyongan, saling membatu atau tolong menolong, saling menuntun dan saling meberi agar hidup sama-sama merasa, semakin jauh dari harapan. Nyanyian indah itu semakin sayup terdengar. Jangankan untuk membatu orang lain, hanya sekedar menyapa satu sama lainsaja, mereka sudah enggan. Ia bagaikan batang buruk yang tak berguna.

Ya, batang buruk itu memang nyaris tenggelam. Tatapi sekedar membangkintkan semangat yang masih tersisa, izinkan penulis mengatakan “Biarkan saja nyanyian alam modernisasi terus mengalun, namun gendang melayu tetap harus berdentum”.