Menengok Catatan yang Tertinggal (Part – IV)

Issued by : H. Suhardi, SE / Wahyu Saputro

Berbicara tentang hak atas tanah, Datuk Kaya memiliki hak penuh atas tanah diwilayah kekuasannya. Hak atas tanah tersebut hingga kini masih menjadi milik Datuk Kaya yang diwariskan kepada anak cucunya, meskipun disana sini sudah berpindah tangan kepada orang lain. Ada yang dijual, dan ada juga yang diwakafkan kepada pihak atau lembaga tertentu.

Kekuatan sah atas kepemilikan tanah tersebut ditetapkan dengan Grant (Surat Tanah di zaman Hindia Belanda), dan tanah-tanah yang dikuasai oleh Datuk Kaya, dipastikan bukan milik Sultan atau milik kerajaan Riau-Lingga. Hal tersebut juga dengan sangat jelas pernah dijelaskan oleh Van de Tillaard (hal. 22). Demikian menurut H. Wan Tarhusin melalui bukunya “Gelar Datuk Kaya Tokong Pulau Tujuh” cetakan pertama tahun 2000.  Meskipun Sultan Riau-Lingga ketika itu menyatakan bahwa tanah-tanah yang ada di Riau adalah haknya, tetapi tidak demikian halnya untuk tanah-tanah diwilayah kekuasan Datuk Kaya Pulau Tujuh.

Hak memiliki tanah (Bezits Recht) untuk rakyat tidak terbatas. Tidak ada sebidang tanahpun dari pulau-pulau yang berada dibawah kekuasan Datuk kaya yang diklaim sebagai tanah Sultan. Berdasarkan “Rechtsgemeen Schappen”, tidak ada terdengar suara-suara sumbang dari negeri kekuasaan Datuk Kaya Pulau Tujuh dalam hal menentukan nasibnya  sendiri. Berdasaerkan Stablaad 1875 no. 199 tentang pertanahan negara, tidak ada satu pasalpun yang merugikan rakyat.

Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa, Tanah Ulayat atau tanah milik keturunan Datuk Kaya yang sudah ratusan tahun lamanya, ada yang sudah diperjual-belikan, dan ada pula yang masih bertahan hingga sekarang, dan dikuasai oleh anak cucunya. Tanah yang tidak terurus atau tidak ada yang mau mengurusnya lagi, maka atas pesan pendahulunya, tanah-tanah tersebut diwakafkan. Hal tersebut telah dilakukan oleh kaun kerabat Datuk Kaya Bunguran Timur yang mewakafkan sebagian dari tanahnya kepada pemerintah  untuk dibangun Lapangan Udara Ranai pada tahun 1954 dan kini menjadi “Bandara Raden Sajad Ranai”.

Sebagai tanda ucapan terimakasih atas budi baik Datuk Kaya, maka Wan Mohd. Rasyid sebagai Datuk Kaya Bunguran Timur yang terakhir yang diberi jabatan oleh Pemerintah RI sebagai Wakil Assisten Wedana itu, dianugrahkan Sebuah Piagam Penghargaan oleh Kepala Staf Angkatan Udara Republik Indonesia. Surat Penghargaan No.2 tahun 1958 yang ditanda tangani oleh Kepala Staf Angkatan Udara “Laksmana Muda Udara R.S. Suryadarma” itu, hingga kini masih tersimpan rapi oleh cucu Wan Mohd. Rasyid, seperti yang tertera dalam gambar dibawah ini :

Hak milik atas tanah berdasarkan hukum adat tempatan kala itu sangat berpihak kepada rakyat seperti yang tercantum dibawah ini :

  1. Hak memiliki tanah hutan
  2. Hak mengusahakan
  3. Hak memiliki

Jadi, raykat mempunyai kesempatan mengusai tanah dengan status mengusahakan atau juga memiliki atau hak milik. Hak memiliki atas tanah hutan ada 3 macam, yaitu :

  1. Hak memiliki tanah Kebun Kelapa, ditetapkan tanah yang letaknya berdekatan dengan jalan raya, atau pantai, laut atau juga berdekatan dengan sungai. Kepala kebun harus membentang kebelakang sampai kehamparan gunung atau rawa sungai. Kalau kondisi tanahnya datar atau rata, maka pengusahaan tanah tidak terbatas. Namun bila ada orang lain yang ingin menggunakan tanah dibelakang tanah kebun orang lain, maka pemilik tanah yang didepannya harus harus mengizinkannya.
  2. Bila dalam jangka waktu tertentu tanah yang telah dimiliki itu tidak diusahakan dengan baik, maka tanah tersebut akan diberikan keada orang lain, atas permintaan yang baru.
  3. Bila seseorang telah berniat untuk membuka tanah hutan yang akan dijadikan kebun, maka harus terlebih dahulu Mengambuk atau Mengakok (meberi tanda atas tanah yang akan diusahakannya) dengan letak dan batas yang jelas. Tanah ambuk atau tanah akok itu dapat dibatalkan, apabila tanah disekitarnya telah dibuka atau diusahakan oleh orang lain.

Hak tanah ambuk atau tanah akok hanya berlaku diwilayah Datuk Kaya Bunguran. Menurut adat yang berlaku di tanah Bunguran, setiap bumi putra bebas mengusahakan tanah kosong.

Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa adat melarang menjual kebun-kebun kepada orang lain, kecuali kepada kaum kerabat atau famili terdekat saja. Hal tersebut memang sengaja dibuat demi menjaga dan menjamin kepemilikan tanah oleh bumi putra atau masyarakat tempatan. Hal ini diatur oleh pemerintah Hindia Belanda (Tidjschrift); 1915 no. 5.

Andaikan ketentuan diatas masih berlaku hingga sekarang ini, maka dipastikan bahwa tidak ada satupun masyarakat tempatan Pulau Bunguran yang tidak memiliki tanah, hingga bila akan mendirikan rumah atau bahkan berkebun, tidak akan pernah penumpang pada tanah orang lain.

(Finish)