Issued by : H. Suhardi, SE / Wahyu Saputro
Sama halnya dengan Raja, Orang Kaya atau Datuk Kaya memiliki peran menyeluruh atau multi fungsi. Segala urusan mejadi tanggung jawab Datuk Kaya yang diselesaikan melalui tata cara adat yang tidak jauh berbeda dengan aturan dan tata cara adat yang berlaku di kerajaan Johor-Riau Lingga. Segala hak atas tanah berada dibawah kekuasaan Datuk Kaya. Pengaruh dan kewibawaan Datuk Kaya sangat disegani rakyatnya.
Selaku orang nomor satu yang dituakan, pemangku adat, pemimpin masyarakat tempatan pada masa itu, secara tradisional mampu mengamankan dan mensejahterakan masyarakatnya, sesuai dengan daerah dan kawasan yang dikuasainya.
Hubungan silaturahmi antara para Datuk Kaya sangat erat. Belum pernah tercatat sebetik beritapun tentang pertikaian atau perselisihan antara Datuk Kaya yang satu dengan yang lainnya. Begitu juga dengan hubungan antara sesama penduduk atau masyarakat, baik dalam satu wilayah maupun dengan masyarakat wilayah kekuasaan Datuk Kaya lainnya, hampir tidak terdengar. Masyarakatnya hidup damai dan sejahtera tanpa pernah ada gangguan dari pihak manapun juga.
Segala kemajuan yang telah dicapai ini adalah sebagai hasil dari rasa kebersamaan dan gotong royong yang tertanam sejak awal peradaban dalam diri masing-masing individu masyarakat Natuna, melalui pendekatan Adat Bersendikan Syarak dan Syarak Bersendikan Islam, hingga terciptalah kondisi yang harmonis, aman, tentram, damai serta rukun dan sejahtera.
Dalam sejarah Melayu tulisan “Tun Sri Lanang” suntingan Shellabear (Selangor abad ke 14 M) oleh Abd. Karim bin Abu Bakar (1971;3) mengisahkan tentang raja-raja Melayu yang memerintah di Singapura, menyebutkan : “Ada seorang sahabat yang bernama Tun Jana Chatib asal Pasai bertemu dengan Tun Bunguran dari Selangor, pada abad ke 14. Pada waktu itu Pulau Bunguran diperintah oleh Wan Moehammad gelar Orang Kaya Peniboeng yang sudah beragama Islam. Dan sebelumnya Pulau Bunguran di perintah oleh Orang Kaya Koembang”.
kehadiran Tun Jana Chatib dan Tun Bunguran pada abad ke 14 itu menjadi sebuah rialitas sejarah yang tidak terbantahkan oleh siapapun dan dari generasi kapanpun juga, bahwasanya Bunguran khususnya dan Pulau Tujuh umumnya, sudah memiliki kedaulatan yang sama dan setara dengan kedaulatan yang dimiliki oleh raja-raja Melayu di kawasan Semenanjung dan Sumatra.
Ketika Raja Ali berkuasa di Kerajaan Riau Lingga sebagai yang Dipertuan Muda Riau VIII tahun 1857, ada sebuah perjanjian yang dikenal dengan “Tawarikh al Wastu” yang berisikan sumpah setia Sultan Mahmud Al Muzafar Syah. Dalam sumpah tersebut menyebutkan bahwa “Tokong PulaunTujuh” termasuk kawasan Kerajaan Riau Lingga, dengan masing-masing wilayahnya ditunjuk seorang kepala pemerintahan, (A. Ahmad Samad, 1985;33). Dalam sumpah itu juga disebutkan bahwa kepala pemerintahan di Tokong Pulau Tujuh diberi gelar “Datuk”.
Gelar lain yang diberikan kepada Datuk Kaya Pulau Tujuh adalah sebagai berikut :
- Wilayah Pulau Siantan : Pangeran paku Negara dan Orang Kaya Dewa Perkasa.
- Wilayah Pulau Jemaja : Orang Kaya Maharaja Desa dan Orang Kaya Lela Pahlawan.
- Wilayah Pulau Bunguran : Orang Kaya Dana Mahkota, Penghulu, dan Amar Diraja.
- Wilayah Pulau Subi : Orang Kaya Indra Pahlawan dan Orang Kaya Indra Mahkota.
- Wilayah Pulau Serasan : Orang Kaya Raja Setia dan Orang Kaya Setia Raja.
- Wilaya Pulau Laut : Orang Kaya Tabdir Raja dan Penghulu Hamba Diraja.
- Wilayah Pulau Tambelan : Petinggi dan Orang Kaya Maha Raja Lela Setia.
(To be Continued)